Unspeakable Mind

Untuk kalian yang belum bisa berdamai dengan diri sendiri, bertahanlah. Entah masalah seperti apa itu, aku percaya tiap-tiap dari kita punya dan pasti akan menemukan jalan keluar masing-masing. 

Berdamai dengan diri sendiri. 

Zaki lagi-lagi tenggelam dalam kalut. Perasaan tidak menentu yang terus mengikutinya. Bukan tidak mengetahui sebab daripadanya. Dia paham betul sebabnya tetapi entah kenapa semuanya terasa begitu rumit untuk perempuan yang baru saja di awal dua puluhan itu. 

Sekembalinya dia dari rumah, yang pertama didapati adalah kesunyian. Sepi, dia merasa sendiri. Semakin sadarlah dia kalau sebenarnya dia begitu cengeng, begitu lemah. Dari kecil tidak pernah tinggal terpisah dengan orangtua membuatnya tidak menyadari bahwa rasa rindu itu benar adanya. Dipikirnya dia tidak bisa merasa rindu. Baru dua hari kembali, air matanya sudah jatuh tidak karuan. Berat ternyata.

Bukan soal rumah dalam arti sebuah bangunan. Melainkan penghuni dan setiap waktu bersama yang terlewati memang begitu membekas. Tidak ada yang mewah atau terlampau istimewa. Hanya keseharian penuh warna dalam sebuah keluarga. Teriakan di kala subuh bahkan sampai perintah yang sering memunculkan rasa enggan. Perasaan aman, tenang dan tanpa kekhawatiran karena benar-benar berada di rumah. Dia semakin dapat menyadari bahwa ikatan dia dengan rumah begitu erat. Ingin rasanya pulang. 

Nyatanya Zaki punya banyak alasan yang menahannya di tempat ini. Tumbuh dengan membaca banyak pengalaman orang-orang hebat yang membanggakan membuatnya ingin menjadi satu dari mereka. Besar angannya. Bersekolah sampai tinggal dan menetap di luar negeri. Mendapat beasiswa di sekolah bergengsi. Kompetisi-kompetisi dunia. Singkatnya ia ingin dikenal. Dia ingin orang-orang tahu siapa dia. Tidak memandangnya rendah dan sebelah mata. Dia percaya kalau dia punya kemampuan dan memang bisa untuk menwujudkan impian-impian itu. Kau tahu apa yang lucu? Dia bahkan tahu harus menempuh jalan mana dan langkah yang harus diambil. 

Bodoh.

Pikirannya tidak karuan. Entah kenapa Zaki selalu punya beribu pertimbangan dan alasan. Dari mana datangnya juga tidak jelas. Yang pasti benar adalah dia terpengaruh. Melihat orang-orang yang dianggapnya punya kemampuan luar biasa dia menjadi kecil diri. Menghindar dari kerumunan. Rasanya seperti mereka memberikan tatapan yang tidak mengenakkan hati. Padahal hanya perasaannya saja. Tidak lebih. Jarang bersuara karena pikirnya dia tidak didengarkan. Pikirannya ditolak membuat dia tidak senang. Yang selalu jadi pertanyaannya adalah apakah mereka tidak menyukainya? Apakah dia terlihat aneh? 

Zaki pikir dia memberikan kesan yang mengintimidasi sehingga orang-orang enggan untuk bicara dengannya. Sungguh keadaan terkadang bisa jadi lebih buruk. Dia benar-benar mencoba untuk mengindari kerumunan orang baru. Ayolah mereka bahkan belum mengenalnya. Terus kenapa menghindar? Dia tidak cukup buruk untuk berkenalan tapi dari perkenalan itu yang sering dia dapati adalah orang-orang itu lama kelamaan menjadi lebih dekat dengan yang lainnya. Dia seolah lebih mudah untuk dilupakan dan menjadi terlupakan. 

Pikirnya, mungkin dia bukan tipe yang sesuai untuk mereka ini. Tekanan yang dia rasakan sangat mempengaruhinya. Dan ketika tiap orang punya caranya masing-masing untuk mengatasi perasaan tertekan itu, Zaki termasuk yang paling buruk. Keluar dari zona nyaman. Ah dia sadar kalau dia sudah selangkah di luar itu dan membuatnya tidak nyaman. Keadan ini membuatnya memilih untuk lebih sering sendiri dengan pikirannya. Zaki terkurung dalam emosinya dan dia merasa sendiri.


Share:

0 komentar