Menolak Masa Lalu [Pulang]

Kembali aku ke kampung halamanku. Memandangi sepanjang jalanan kota yang tidak kalah sepi dari kampung sebelah--sepi. Seketika itu juga bermacam-macam pikiran masuk ke dalam otak ku tanpa bisa kuhalangi, tidak satupun. Tentang rumah-rumah, manusianya hingga si boto yang mulai malas-malasan mengunyah rumput yang sudah disiapkan abah. Bus yang kutumpangi akhirnya berhenti di perbatasan desa sebab si brongsok asap hitam itu sudah tidak sanggup lagi untuk menanjak lebih tinggi lagi menuju  rumah abah. Bah sudah datang jauh-jauh, lelah, aku masih harus berjalan pula sekitar dua setengah kilo mungkin. Aku menggerutu tapi terus berjalan pasti. Sambil kuberjalan masih terus bergelayut dikepalaku tentang berbagai hal yang telah kulewati di tempat ini. Kampung ini telah kutumpangi selama lebih dari seperempat umurku untuk tumbuh. Mantar namanya, tempat yang tidak kalah dingin dengan di luar negeri sana. Abah dan amak masih bertahan di sini, tidak berpindah sejengkalpun, tidak dari rumah itu tidak juga dari kampung itu. Mereka masih setia di dalam pelukan awan dan semilir angin yang menggigit tulang. Tidak begitu denganku, aku pernah pergi.

"Abah hanya ingin kau untuk terus bersekolah, menjadi orang pintar macam Pak Basron tu. Tidak seperti kami orangtua kau" ungkap abah dengan suara bergetar dan mata sayu yang kosong. Di depannya aku duduk sambil memijat kaki beliau yang sudah begitu tua dan tidak berbeda layunya dengan wajah beliau. Lelaki tua ini nampaknya masih punya harapan besar pada anak bujangnya yang tidak tau bersyukur ini. Aku hanya bisa menundukkan kepala tidak mendongak sedikitpun seolah-olah mendengarkan ucapan beliau, padahal tidak. Abah bukan orang yang terpandang di kampung bukan juga pemuka agama yang disegani, ia hanya seorang lelaki tua pemilik perkebunan kopi dan tembakau yang sudah mulai sepi peminat. Dikelolanya perkebenunan tersebut bersama amak dan para pekerja harian dulu, seingatku sejak aku mulai pergi usaha itu sudah mulai lesu. Para pekerja mulai tidak berminat lagi pun dengan para pembeli. Mereka bilang kualitas kopi dan tembakau abah sudah berbeda tidak seperti dulu lagi. Ah tidak mengerti juga aku. Sebentar aku berhenti di tengah perjalanan, menghela nafas berat sambil meneguk air. Dari kejauhan sudah terlihat kebun abah dulu yang kini ditumbuhi tanaman liar. Aku tidak berharap untuk datang kembali ke tempat ini, tidak juga ke rumah itu. Sebab sudah tidak ada yang bisa kudapati lagi, Tapi, masih saja aku kembali--pulang. 

Tags:

Share:

0 komentar